Hukum FOtOgrafi berdasar Fiqh Ulama' dan Lembaga Fatwa

Patung Pangeran Diponegoro di lapangan Alun-Alun Kota Magelang


Fotografi

Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "Fos" : Cahaya dan "Grafo" : Melukis/menulis.) adalah proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya .

Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat.

Prinsip fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghailkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Foto fo·to n 1 potret: -- nya dimuat di dl surat kabar; 2 ki gambaran; bayangan; pantulan: ragam ilmiah seakan-akan -- kegiatan pikiran;.  Pot·ret /potrĂ©t/ n 1 gambar yg dibuat dng kamera; foto; 2 gambaran, lukisan (dl bentuk paparan).
Hukum Fotografi

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum photografi. Ada kalangan yang sangat ekstrim sehingga semua bentuk photografi hukumnya haram. Tidak peduli untuk tujuan apa dan phose yang bagaimana, pendeknya sekali haram tetap haram.
Syekh Muhammad Bakhit, Mufti Mesir

Syekh Muhammad Bakhit yang kedudukannya sebagai Mufti Mesir berfatwa bahwa fotografi itu adalah merupakan penahanan bayangan dengan suatu alat yang telah dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel).

Cara semacam ini sedikit pun tidak ada larangannya. Karena larangan menggambar, yaitu mengadakan gambar yang semula tidak ada dan belum dibuat sebelumnya yang bisa menandingi (makhluk) ciptaan Allah. Sedang pengertian semacam ini tidak terdapat pada gambar yang diambil dengan alat (tustel).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya tentang hukum menyimpan gambar atau foto sebagai kenangan, menjawab bahwa menyimpan gambar atau foto untuk dijadikan sebagai kenangan adalah haram, karena Nabi SAW telah menjelaskan bahwa malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar.

(lihat : Ibn Utsaimin dalam kitabnya Al-Fatawa Asy-Syari`yah Fi Al-Masail Al- Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram)

Lajnah AI-Da`imah
Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan ifta (Lajnah AI-Daa`imah Lil Buhuts AI­ IImiyah wallfta) kerajaan Saudi Arabia ditanya, "Apakah fotografi masuk dalam hukum gambar dengan tangan atau tidak?"

Mereka menjawab, "Pendapat yang benar yang ditunjukkan dalil-dalil syariat dan menjadi pendapat mayoritas ulama adalah pengharaman gambar makhluk hidup yan mencangkup fotografi dan gambar tangan ataupun tidak berbentuk jasad, karena keumuman dalil-dalil tersebut.

Lalu bagaimana mereka bisa sampai kepada kesimpulan itu? Adakah dalil yang melatar-belakangi kesimpulan sedemikian rupa?

Jawabannya ada, ya mereka ternyata punya dalil-dalil yang menurut mereka kuat. Misalnya dalil berikut ini:

Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat, yaitu orang-orang yang menggambar gambar-gambar ini. Dalam satu riwayat dikatakan: Orang-orang yang menandingi ciptaan Allah. (HR Bukhari dan Muslim)

Barangsiapa membuat gambar nanti di hari kiamat dia akan dipaksa untuk meniupkan roh padanya; padahal dia selamanya tidak akan bisa meniupkan roh itu. (HR Bukhari)

Kalau anda menggunakan pendapat para ulama yang model begini, maka jawaban dari kartu undangan yang pakai photo itu jelas jadi haram hukumnya. Tidak peduli phosenya, photografi itu saja sudah haram, dalam pandangan ulama yang ini.

Namun jangan bingung dulu, selain ulama yang agak konservatif dengan pendapatnya itu, ternyata ada juga kalangan ulama yang agak moderat, di mana mereka tidak gebyah uyah main haramkan photografi begitu saja. Mereka juga punya hujjah yang kalau dipikir-pikir, kayaknya masuk akal juga.

Hujjah mereka tentang photografi ini bahwa pada prinsipnya mubah, karena photografi beda dengan melukis atau membuat patung. Prosesnya adalah menangkap bayangan atau citra suatu objek pada suatu bidang dan kemudian hasil bidikan itu diproses sehingga menjadi sebuah karya photografi.

Kalau pun mereka mengharamkan photografi, maka kaitannya bukan pada tekniknya, melainkan bergantung kepada objeknya. Kalau objeknya halal, maka hukumnya halal, sebaliknya kalau objeknya tidak halal, maka hukumnya tidak halal.

Maka yang haram dalam pandangan mereka bila objeknya gambar berhala, orang telanjang, atau sejenisnya.

Sumber: http://www.rumahfiqih.com/ensiklopedi/x.php?id=54&=.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HARI PERTAMA LIMA BAYI HAMSTER MENATAP DUNIA